PART I (Suratku Buatmu)
Assalamu’alaikum wahai engkau yang melumpuhkan hatiku,
Tak terasa dua tahun aku memendam rasa itu, rasa yang ingin segera kuselesaikan tanpa harus mengorbankan perasaan aku atau dirimu. Seperti yang engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.
Tahukah engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa lisan ini seolah terkunci untuk mengungkapakan perasaan ini. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu, walau aku teramat sakit saat mengetahui bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai walaupun itu hanya sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan lonjakan yang membuatku semakin tidak mengerti.
Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit terasa dan begitu amat perih. Namun 1000 kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti bagiku. Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan aku mengerti bahwa aku harus mengalah.
Wahai engkau yang melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati ini terus mengingatmu. Jarang aku memandang seorang Ahwat, namun satu pandangan saja mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini. Andai aku buta, tentu itu lebih baik daripada harus kembali lumpuh seperti ini.
Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah kumintai pendapat. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangku tentangmu tentang dia karena sebahagian prasangka adalah suatu kesalahan,mereka memintaku untuk membuka tabir lisan ini juga untuk menutup semua rasa prasanmu terhadapku. Namun di titik yang lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal yang telah tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin aku bukanlah Ihwan yang siap untuk segera menikah denganmu. Masih banyak sisi lain hidup ini yang harus ku kelola dan kutata kembali. Juga kamu wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kamu yang dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum saatnya memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung ke sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin berpacaran denganmu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu, namun tak akan kuberikan setitik pun saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam diriku bahwa saat-saat indahku hanya akan kuberikan kepada suamiku nanti. Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tolong bantu aku untuk meraih jodoh-ku bila dia bukanlah dirimu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu, tentu aku ungkapkan perasaanku . Andai rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu. Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan maluku hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.
Aku yang tidak mengerti diriku…
Ingin ku meminta kepadamu, sudikah engkau menungguku?! Namun wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku melupakanmu… aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin nanti saat dimana mungkin kau telah menimang cucu-mu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling tersenyum bersama mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebahagian dari iman, kita akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita berbuka setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu ini pada tempatnya.
Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA.
Wassalam
“Selembar surat ini tetap aku simpan untuk mengingatkan akhi akan sucinya perasaan akhi untuk ku” dalam hati ira bekata.. sambil melepitkan surat itu, “Akhi ryan adalah Ustad favorit aku, aku harus berkata apa dengannya sedangkan ini adalah hari keputusan untuk menjawab semua itu….”
Matahari menunjukkan pukul 15.30 WIB, lantunan suara adzan Ashar terdengar di telinga ira, “Waktu Ashar telah masuk aku harus bergegas shalat Ashar, karena nanti aku akan bertemu dengan ryan” Hati Ira Sumringah...
Tut..tut..tut sms dari ryan berbunyi…
“Assalamu’alaikum ukhti maaf dengan segala ketidak sopanan akhi mengirimkan sms ini, akhi hanya ingin menegaskan jadi atau tidaknya kita berjumpa. Wassalamu’alaikum”
Pertemuan pun tiba, keduanya ini saling menundukan kepala seakan dan saling terdiam.. hanya sepatah dua patah kata terlontar dari ryan “Bissmillah” dengan serta merta melepaskan napasnya perlahan..
“Assalamu’alaikum... ukhti gimana kabarnya..” dengan senyum ira pun menjawab
“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik.. Akhi gimana kabarnya?” “Alhamdulillah baik juga.. ukhti... bagaimana dengan surat ana? Maaf ana lancang mengirimkan surat kepada ukhti” hati ryan berdentum keras seakan ingin pecah. Dalam hati ryan hanya berzikir agar syaiton tidak masuk kedalam hatinya.
“Akhi maaf sebelumnya jika ini adalah jalan Allah untuk mempertemukan kita, alangkah baiknya jika akhi mengenal lebih dalam lagi ukhti, karena nanti baik buruknya bukan ukhti yang menilai tetapi akhi” “ukhti bukanlah seorang muslimah yang baik bagi akhi” tetapi memang ini jalan yang terbaik buat kita alangkah baiknya Ta’aruf dahulu hingga akhi siap dan ukhti pun siap sampai saatnya nanti”..
No comments:
Post a Comment