Malam harinya Ryan bertandang ke rumah Murrabinya yakni Ustadz Andi, untuk bersilahturahim sekaligus menumpahkan keluh kesahnya kepada ustadznya tersebut.
Sesampai disana Ryan menceritakan kepada Ustadz Andi mengenai pesan pendek yang diperolehnya dari Ira tadi Siang.
“Jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” Tanya Ustadz Andi
“Ana tidak tahu, mau tidak mau ana harus menerima ini, jika memang ini yang telah digariskan Allah”
“Ryan, coba kamu buka Surat Al-Baqarah ayat 216, disitu Allah berfirman bahwa mungkin saja engkau membenci sesuatu padahal sesuatu tersebut adalah baik untukmu, dan mungkin saja kau mencintai sesuatu padahal sesuatu itu tidak baik untukmu. Allah lebih mengetahui sedangkan kamu tidak”
Ryan mulai menangkap arah pembicaraan ustadznya.
“Ryan sekarang saya tanya sama kamu...kamu masih seorang muslimkan?”
Ryan hanya mengangguk.
“Kamu masih yakinkan bahwa Allah itu Tuhanmu?”
“Ya ustadz”
“Dan kamu ridhokan Allah sebagai tuhanmu?”
“Ya Insya Allah”
“Baiklah kalau begitu,jika kamu memang masih mengaku seorang muslim dan yakin serta ridho Allah sebagai tuhanmu, maka konsekuensinya kamu harus menerima dengan ikhlas bahwa didalam zat Allah terdapat sifat-sifat ketuhanan, yakni salah satunya ialah sifat maha mengetahui, dan bila Allah memang maha mengetahui, sebaiknya kita sebagai manusia jangan sok tahu dan tergesa-gesa memvonis bahwa Allah tidak adil dan salah dalam menetapkan takdirnya, karena sekali lagi yan, Allah lebih tahu atas segala sesuatu”
Ryan menyimak perkataan murrabinya dengan seksama, sambil akalnya berusaha tuk mencerna lebih dalam pandangan murrabinya.
“Yan, tahukah kamu kenapa saya mengatakan hal barusan? Karena saya melihat dari sikapmu, kamu belum bisa mengiklashkan kepergian Ira dan dari tatapan wajahmu seolah-olah kamu berkata bahwa Allah tidak adil. Istigfar yan.. Istigfar.. Ketahuilah bahwa Allah tidak mungkin mendzalimi hambanya meskipun sebesar dzarah dan Allah tergantung pada persangkaan hamba-Nya, Husnudzan-lah bahwa Allah betul-betul menyayangimu”
Astagfirullah.. Ryan membatin.
“Sekarang saya akan mengajukan sebuah pertanyaan penting kepada kamu. Analogikan saja saya yang sedang ada dihadapanmu ini adalah jibril yang diutus Allah untuk menyampaikan pesan dari Allah, dan pesan tersebut berupa pertanyaan dari Allah. Allah bertanya kepadamu, manakah yang akan engkau pilih wahai hamba-Ku, Ira atau Aku? Sesungguhnya Aku cemburu saat kau meletakkan zat selain Aku untuk bertahta disinggasana hatimu, dan karena Aku sangat menyayangimu, untuk itu Aku putuskan hal ini bagimu dan Ira, semata-mata agar engkau kembali ke jalan-Ku. Bukankah disetiap sholatmu kau selalu meminta kepada-Ku untuk ditunjukkan jalan yang lurus (ihdinasy syiraathalmustaqiim)?”
Serta merta Ryan meneteskan air mata, menumpahkan butir-butir penyesalan, hatinya yang semula tandus dihantam badai kegalauan sekejap telah berubah teduh menghijau, menumbuhkan kelopak-kelopak hikmah dan membanjiri relung hati dengan siraman keikhlasan. Dia sadar bahwa akal sehatnya telah tertutupi oleh awan kejahiliahan sebab terlalu cendrerung kepada Ira.
“Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskan hal ini lebih lanjut yan, karena saya yakin kamu pasti sudah paham maksud pembicaraan saya, sebab kamu adalah mutarabbi terbaikku, diantara semua mutarabbiku kamulah yang paling cerdas dan paling cepat mengerti, hanya saja saya menganggap kamu tadi sedang galau dan betul juga kata orang-orang bahwa apabila seseorang sedang jatuh cinta maka 83,13% kecerdasannya akan hilang, dan subhanallah ternyata hal tersebut dapat juga menimpa orang secerdas kamu he..” Ustadz Andi tersenyum memandang Ryan.
Ryan membalas senyuman tersebut, sambil menyeka air mata, dia menadahkan tangan ke langit, bermaksud untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Ustadz Andi tadi, dalam hati dia berkata,
"Ya Allah ya Robbana, jika memang ini yang kau putuskan dan terbaik bagi hamba dan Ira, maka dengan keridhoan hati hamba menerima ini semua. Jika Engkau meminta hamba untuk memilih, maka hamba akan memilih Engkau ya Robbi, karena hamba tahu bahwa hanya Engkaulah yang bersedia membalas cinta hamba lebih daripada rasa cinta yang dimiliki oleh mahluk-mahluk-Mu, oleh karena Engkau menyayangi hamba, hamba yakin kelak Engkau akan memberikan pengganti yang lebih baik daripada ini semua, dan hamba yakin bahwa angin yang Kau tiupkan akan senantiasa berhembus tuk membawakan mimpi-mimpi baru, menyejukkan jiwa dengan belaian kasih sayang-Mu dan menyinari mata hati yang tertutupi kabut nafsu, agar jelas dan terang tuk melihat bahwa tak ada yang sanggup menggantikan keindahan-Mu. Robbana aatina milladunka rahmah wa hayyi’ lana min amrina rosyadaa, Allahummagfirli.. Aahummagfirli.. Allahummagfirlana.. Amin Allahumma Amin.."
“Hey! Kamu jangan mencari-cari kesempatan dalam kesempitan mepet sini, mepet sana aha! Hey! Kamu ayo jagalah, jaga sikapmu jagalah jarakmu jagalah hatimu dimana saja haha!” terdengar nada Ring Back tone di ponsel milik Ryan. Sebuah lagu milik grup nasyid Justice Voice. Ring Back Tone tersebut milik Ira, berkali-kali berdering namun tak jua diangkat oleh pemiliknya. Ryan bingung mengapa Ira tak menjawab
Baiklah akan kucoba lagi, ini sudah yang ketiga kali.
Ryan tetap ber-husnudzan bahwa Ira tak mendengar panggilan tersebut, atau sedang sibuk sekali hingga panggilan tersebut belum sempat tuk diacuhkan.
Kuharap bukan karena dia enggan mengangkatnya.
Panggilan ketiga bernasib sama, gagal. Akhirnya Ryan menyerah, cukuplah sudah, baginya itu merupakan hak Ira untuk tidak atau mengangkat panggilannya, dia sadar kapasitasnya di hati Ira saat ini bukanlah sebagai Ryan 2 tahun yang lalu, Ryan sadar diri, namun selang 5 menit kemudian masuk sebuah pesan pendek ke ponsel Ryan, pesan tersebut tak lain dari Ira.
Assalamu’alaikum akh, afwan jiddan akh, ana g bs angkat panggiln antum, ana skr sdang di rumah, kluarga lg pd ngumpul mau mbahas mngenai acara walimahn ana. Ga mgkn bagi ana untuk bicara apalagi brtemu dg antum lagi, sbentar lagi ana akan menikah & antum tentu jg tahu gmn pandangn kluarga ana terhadap antum, syukron.
Ryan tersenyum membaca pesan tersebut,
Masya Allah, Ryan membathin.
Ryan coba menafsirkan pesan Ira. Ryan khawatir Ira salah menafsirkan panggilannya, padahal saat ini Ryan telah berhasil merebut kembali 83,13% kecerdasannya, kecerdasan yang sempat berhamburan terbawa terbang oleh badai yang bernama “cinta”. Jiwa dan akalnya sangat fit saat ini.
Wahai ukhti... tidaklah ana bermaksud untuk mengungkit masa lalu kita, karena tidak akan pernah cukup waktu ‘tuk berhenti membicarakannya, terlalu indah tuk dilupakan begitu saja dan tidak pula ana ingin mengganggu & menghalang-halangi niat anti untuk menyempurnakan separuh din, karena ana sepenuhnya sadar anti saat ini adalah calon istri saudara (ikhwan/ikhwah fillah) ana sedang khitbah telah anti & keluarga terima. Ryan berkata dalam hati.
Ukh ada hal yg ingin ana bicarakn, mgkn ini utk yg trakhir kaliny, ana janji. Ada yg ingin ana bahas dg anti, sesuatu yang kirany bisa memuaskn bathin ana, sesuatu yg mgkn krn ke-dhaif-an ana butuh pncerahan & koreksi dr anti. Bunyi pesan pendek Ryan.
Ira berpikir, apakah akan menjawab atau membiarkan saja pesan tersebut, sementara Ryan masih menunggu, apakah sebuah balasan atau keheningan yang akan diberikan Ira. 10 menit berlalu. Masuk sebuah pesan.
Apakah penting skli akh, ap tdk bs lewat sms aj.
Ryan menjawab, sblumny syukron ukhti telah merespon pesan ana, tapi afwan ukh, kayakny tidak bs lewat sms, lumayan panjang hal yg akan di bahas, lewat sms sepertiny gak cukup.
Lagi-lagi Ryan harus menunggu jawaban Ira. Selang setengah jam kembali sebuah pesan masuk ke ponsel Ryan.
Baiklah antum bisa menelpon ana besok, ba’da shubuh sebelum ana pergi berangkat mengajar, insya Allah ana punya kelapangan waktu, assalamu’alaikum.
Wa’alaikum salam, jazakillah khair.
No comments:
Post a Comment