06 November 2010

No Title

Terhenti di sebuah titik yang sebenarnya bukan sebuah akhir...
Aku hanya bisa membentuk sebuah senyum dan tawa dari serpihan hati dan harapan...
Aku hanya bisa terlelap menunggu dibangunkan dari mimpi...
Aku hanya bisa bertahan dengan tetap berharap...
Aku hanya bisa tertunduk, berkeluh kepada Sang pemberi karunia...
Kesalahan yang tak dapat terlihat...
Kesalahan yang tak bisa terbayang...
Sesuatu yang tiada sadar diperbuat...
Kembali terjadi kembali berulang...
Tak perlu tahu tak perlu mengerti...
Tentang arti dari deskripsi disini...
Tak bisa berkata, hanya bisa berjanji...
Menjadi lebih baik di hari nanti...
»» Readmore

03 October 2010

a little secret last part

dengarkan aku meskipun aku tak pernah mengatakannya padamu
dengarkan aku meskipun hanya melalui sebuah coretan untukmu
sebuah kisah yang terlupakan oleh waktu
sebuah kisah bodoh yang tak pernah berani tuk aku utarakan

kepada kau yang pernah hadir dalam hidupku,
inginku untuk merajut indahnya hari bersamamu
inginku untuk selalu menjaga hatimu
walaupun itu hanya keinginan

kepada kau yang membuatku jatuh cinta,
cintaku tak pernah memaksa
aku hanya akan mencintaimu secara sederhana
sesederhanya pertemuan kita dahulu

kepada kau yang telah mengacaukan hatiku,
diamku bukan berarti kelemahanku
diamku karena aku tahu terlalu banyak kata yang akan menodai ketulusan dan keinginan

biarkan aku mencintaimu dengan caraku
biarkan aku menyayangimu dengan ketidak berdayaanku
biarkan aku mengasihimu dengan ketulusanku

seperti kata pepatah yang masi teringat jelas di otakku
cinta itu halus,sangat susah datang jika kita tak benar2 yakin
cinta itu halus,sangat mudah pergi jika kita tak benar2 berani

kau memang tak sempurna tapi ketidak sempurnaanmu telah menyempurnakanku hidupku yang dahulu,.
»» Readmore

a little secret part 2

Karena aku merindukanmu, maka aku menulis ini untukmu.
Entah sedang berada di mana engkau saat ini,
Terkadang, ada helaan nafas berat di antara tawa
Ketidak mengertian sama sekali tak mampu menjawab apa-apa.
Yang ada, hanya menambah daftar pertanyaan kehidupan
Aku menginginkanmu, menjadi tempat aku bersandar 
Berteduh hangat dan damai dalam setiap suasana 
Berceloteh dan bercerita ringan
Dan aku, menjadi tempat pertama dan terakhir sebagai peraduanmu -setelah Tuhan kita tentunya-

Waktu.
Masih melaju.
Terus melaju menyapu kenanganku.
Tiada peduli pada aku.

Aku memang tak bisa menghentikan waktu. Pun memaksanya melambat meski hanya sepersekian sekon. Maka tanpa mau peduli, aku yang menghentikan duniaku. Aku memaksa diam duniaku untuk sebentar saja membisu.

Kemudian mengulang. Dan terus mengulang kisah-kisah usang.
Aku percaya sepenuhnya, kebaikan akan menjumpa dengan kebaikan pula, meski harus melalui juga sandungan keburukan.
Aku benar-benar menginginkanmu. pada yang telah lalu. pada saat yang sedang melaju. pada hari esok ketika kemungkinan kita berpadu.


Bukankah sahabat adalah ladang jiwa? Yang terus tumbuh, berbuah, dan mengecap kita pada manisnya.
Ada sebuah pertanyaan sederhana, "Apakah telah ada seseorang yang mengisi hatimu?"

but inilah aku! Perduli tak perduli, terima tak terima, ini tetap aku!

Kau mungkin sempat menyepakku menjauh dari duniaku. kau sempat juga melimbungkan aku dari prinsipku. Kau juga sempat membuat aku takut, tertolak dari satu-satunya yang aku mampu. tapi ini aku!

Mungkin aku hanya menggenggam kepercayaan abstraksi, yang tak bisa sepenuhnya dicerna logika sejati, namun akan ada pembenaran walau teramat lirih, oleh nurani. 

Serasa aku tak menyesal, sehingga terlihat aku telah menutup semua cerita, atau mengubur padam gejolak yang sering ada.
»» Readmore

a little secret

Aku yang mengagumi, namun tak mampu ku memiliki.Ini hanya sebuah kekaguman, bukan cinta. Kalau ditanya apa bedanya? Jelas berbeda, hatiku telah mengkotakkan dua kata, dua rasa itu dalam ruang berbeda.Cerita yang terhenti sebelum kisah itu berakhir.Sebuah hal bodoh yang terpikirkan..!!
»» Readmore

28 July 2010

when you love someone

I love you but it's not so easy to make you here with me
I wanna touch and hold you forever
But you're still in my dream
And I can't stand to wait ‘till nite is coming to my life
But I still have a time to break a silence
When you love someone
Just be brave to say that you want him to be with you
When you hold your love
Don't ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true...

I used to hide and watch you from a distance and i knew you realized
I was looking for a time to get closer at least to say... “hello”
And I can't stand to wait your love is coming to my life
When you love someone
Just be brave to say that you want him to be with you
When you hold your love
Don't ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true...

And I never thought that I'm so strong
I stuck on you and wait so long
But when love comes it can't be wrong
Don't ever give up just try and try to get what you want
Cause love will find the way....
When you love someone
Just be brave to say that you want him to be with you
When you hold your love
Don't ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true...
»» Readmore

PART V (All Seem So Unfair)

“Wa’alaikum salam warahmatullah wa barakatuh ya akhi”
Ira tertegun, tak menyangka harus memulai paginya seperti ini, dalam ketertegunannya hati Ira berucap,
Akhi Ryan.. bagaimana mungkin akhi ingin memperdebatkan dalil-dalil dengan ana, tak seimbang rasanya, sementara jika saja akhi tahu bahwa.. akhi adalah ustadz favorit ana, itulah yang membuat ana dengan hati yang mantap menerima akhi dan ingin sekali menjadi istri akhi, tapi .. kenangan cuma tinggal kenangan.. mudahkah bagi akhi untuk melupakan semua kenangan kita? Tak pernah terbayangkan Allah mempertemukan ana dengan lelaki yang selama ini ana inginkan untuk menjadi imam ana, tak lain adalah akhi.. namun.. Ya Allah perih sekali rasanya.. Kuatkanlah hamba.. Akhi sadarkah, bahwa bukan akhi seorang, bukan akh.. Disini-pun ana terluka dengan hebatnya..

Ira memaksakan diri untuk sejenak melupakan apa yang baru saja dialaminya, dia ingin bersiap-siap untuk berangkat mengajar, namun sebelumnya menyempatkan diri untuk membuka laptopnya dan penasaran akan syair terakhir yang dikirimkan Ryan ke e-mailnya, begitu jaringan internet tersambung, e-mail-pun terbuka, membaca dengan pelan dan seksama syair tersebut, kemudian tanpa aba-aba napasnya sesak dan air matanya kembali tertumpah dalam hati dia hanya mampu berkata,



Ryan..
My last word
Dear My Lord :
May I ask You something?
Is She never really had a chance, on that fateful moonlit night?
Sacrificed without a fight, and be a victim of her circumstance?
Now that I’ve become aware and I’ve exposed this tragedy..
Cause a sadness grows inside of me, forgive me My Lord and I beg Your mercy, when my heart said : “it all seem so unfair”


Dear irA :
Always beyond in my head the mosque we ever come together, but you know? Sadly all the grass was overgrown..
Now.. I can only said: “in loving memory of our love, so innocent and know nothing” I felt so empty as I cried, like part of me had died.
You wasn’t given me any choice when I heard desperation stole your voice..
I’ve been given so much more in life, I hope.. I got wife and I got child..
But enough... I had to suffer one last time, to grieve for you and ... Say : “GOODBYE MY DEAR”
Dear My Brothers (Ikhwan) and Sisters (Akhwat):
I know what it’s like to lose someone You love, cause this felt just the same at me now..
Inspired from Dream Theater’s lyric..
BTH, 05 Juli 2009.
“Barrakallahulaka wa Baraka ‘alaika, wa jama’a baynakuma fi khair Ya Ukhti Ya Akhi..”
Ttd
Ryan..


thank's to my friends Andi Firmansah yang telah membuat cerita ini
»» Readmore

27 July 2010

Part IV (keputusan bijak)

Cahaya mentari berwarna emas menandakan awal pagi, kemilaunya menembus pijaran kaca masjid, menyilaukan sepasang mata yang baru saja menyelesaikan wirid paginya setelah mengerjakan shalat subuh berjamaah. Sebelum beranjak menuju kembali ke rumah, Ryan menyempatkan diri tuk shalat sunah dua rakaat, sesaat setelah matahari terbit.

Selesai shalat, tanpa sedikit-pun pudar dari ingatannya, Ryan bergegas untuk pulang dan bermaksud menelpon Ira, sesuai kesepakatan tempo hari.
“Assalamu’alaikum..” terdengar suara lembut seorang wanita diujung telpon sana, serta merta tercipta gemuruh di dada Ryan, tak terasa telah hampir dua bulan sejak saat Ryan dan Ira sepakat untuk berpisah, suara itu tak pernah terdengar lagi di telinga Ryan, menyeruak rasa rindu di batinnya. Betapa tidak, sejak saat mereka sepakat untuk berpisah, tiba-tiba sikap Ira berubah, tidak pernah sekalipun bersedia untuk berbicara via telpon apalagi bertemu langsung, paling bisa sebatas sms saja. Ryan menangkap sinyal-sinyal aneh tersebut, seakan Ira ingin hilang dari peredaran, ada apa gerangan? Menyisakan sebuah lubang tanya besar di hati Ryan, walau tak berapa lama lubang tersebut tertutupi akan sebuah jawaban, ternyata Ira sedang dalam proses ta’aruf dengan seorang ikhwan, strata-nya jauh diatas Ryan, merupakan seorang mahasiswa pasca sarjana di perguruan tinggi ternama di Indonesia.

“Wa’alaikum salam.. ukhti khaifa haluk?”

“Thoyib, syukron” jawab Ira, lebih kurang sepuluh menit berlalu, mereka coba untuk berbasa-basi sekenanya, dan tanpa membuang waktu Ryan tanyakan sesuatu yang menjadi biang penasaran dihatinya.

“Afwan ukh sebelumnya, ada hal ingin ana tanyakan ke anti. Apakah anti telah mantap untuk menikah saat ini dengan si fulan?”

Ira terkejut, pertanyaan macam apakah itu pikirnya. Bukankah kemarin malam Ira telah mengatakan pada Ryan bahwa saat ini dia beserta keluarga sedang mempersiapkan walimahan, bukan sekedar tahap ta’aruf lagi, masih perlukah pertanyaan tersebut diutarakan. Ira hati-hati menjawabnya.

“Bismillah, ana mantap akh.” Hanya itu jawaban Ira.

“Hmm.. apa yang membuat anti mantap?”

Inikah yang ingin antum tanyakan dan bahas dengan ana.

“Akh.. mungkin antum masih ingat, bahwa ana melakukan ini pertama-tama karena ana ingin abi dan umi bahagia, bagi ana kebahagiaan orang tua adalah segala-galanya, dan antum pastinya juga paham bahwa ridho Allah tidak akan turun melainkan karena adanya ridho Allah. Ketahuilah akh..” Ira menghentikan kalimatnya, ragu-ragu apakah akan menyampaikan satu hal yang selama ini ia simpan, tak sekalipun pernah ia sampaikan kepada Ryan. Terdorong akan setangkup asa agar Ryan bisa lebih mengerti, akhirnya Ira utarakan.

“heu..” sambil tersedu-sedu, dan terbata-bata karna tak sanggup menahan tangisan pilunya, Ira coba menguatkan hati, “Ketahuilah akh.. pernah suatu waktu ana dipanggil oleh abi, untuk berbicara secara empat mata, saat itu abi marah besar begitu tahu bahwa selama ini kita masih berkomunikasi, kemudian ana diceramahin dan pada akhirnya abi berkesimpulan bahwa..” kembali Ira menghentikan kalimatnya.

“Abi katakan bahwa ana anak yang durhaka!! Ana divonis abi sebagai anak durhaka karena tidak mengikuti perintah abi untuk menjauhi dan meninggalkan antum” serta merta air mata mengalir deras dari sepasang mata wanita itu. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya, perih batinnya mengingat kejadian itu.

“Sekarang ana tanyakan kepada akhi, wanita mana yang sanggup menerima beban itu akh, wanita mana yang batinnya tidak nelangsa saat orang tua yang sangat amat dicintainya sampai mengatakan hal demikian, wanita mana yang sanggup akh?!.. Seandainya akhi berada di posisi ana masih bisakah akhi memilih? Demi Allah akh.. keputusan berpisah dengan akhi merupakan keputusan tersulit yang pernah ana ambil, dan wallahi akh.. wallahi.., perih dan sakit sekali perasaan ana akh saat memutuskan itu, kita sama-sama terluka akh, saat keadaan memaksa kita untuk memilih, saat itu pula kita sadar bahwa kita hanya manusia.” Isak tangis Ira kembali membuncah, kali ini lebih dalam, karena tanpa sadar dia harus mengingat kembali kejadian tersebut, kejadian yang sekuat tenaga ingin dilupakannya.

Ryan menutup rapat mulutnya. Mencoba untuk menstabilkan situasi. Sejenak dia biarkan Ira hanyut dalam tangisnya, memberikan kesempatan bagi Ira untuk menemukan ketenangannya sendiri. Sedikit terbata Ira melanjutkan,

“Beranjak dari apa yang ana sampaikan tadi akh, kiranya antum bisa mengerti keadaan sebenarnya, lalu jawaban untuk pertanyaan akhi tadi, mengapa ana mantap untuk menikah dengan si fulan, karena ana mengharapkan ridho Allah yang tidak akan turun melainkan dengan adanya ridho orang tua, mereka meridhoi si fulan untuk menjadi suami ana bahkan merekalah yang memilihkannya untuk ana, dan perlu akhi ketahui.. bahwasanya ana telah memikirkan secara matang sebelum menerima khitbah, sebelumnya ana telah berkomunikasi dan berta’aruf dengan si fulan melalui telpon maupun sms, dan dari interaksi tersebut ana yakin insya Allah dia orang yang baik dan agamanya lebih baik daripada ana. Satu hal lagi akh...”

Ryan belum memberikan respon apapun, walau batinnya sudah tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepada Ira, namun untuk sementara dia simpan dahulu.

“Satu hal lagi akh yang insya Allah dapat memuaskan batin antum.. Dulu antum pernah meminta ana untuk menikah dengan lelaki yang padanya ana memiliki kecendrungan, Alhamdulillah akh... terhadap si fulan ana memiliki kecendrungan, sungguh untuk melupakan akhi merupakan perkara yang luar biasa sulit, tapi Alhamdulillah akhirnya hati ana luluh juga dan sekarang ana telah mampu untuk melupakan akhi, dan dengan begitu ana berharap akhi bisa mengiklashkan ana menikah dengan lelaki lain, seperti yang pernah akhi ikrarkan”

Ryan seakan tak percaya, perkataan tersebut keluar dari lisan Ira, lalu masuk melalui gendang telinganya untuk kemudian menuju hatinya, hati yang baru saja sembuh tersebut mau tak mau harus menerima pecutan kembali. Untunglah akalnya masih fit dan kecerdasannya belum beranjak untuk meninggalkan Ryan lagi.

Ryan sadar dia harus menunaikan janjinya kepada Ira, tak mengapa pikirnya, bukankah dia sudah berkomitmen seandainya harus memilih, dia akan memilih Allah dengan menerima takdirnya, sudah seharusnya.

“Baiklah ukh, jika memang ukhti telah memiliki kecendrungan kepadanya, ana bisa mengikhlaskan anti tuk menikah dengan lelaki lain dan ana pegang omongan anti!!”

Huff.. berat sekali rasanya aku harus mengatakan ini.

“Alhamdulillah dengan begitu ana menjadi lega, tapi.. terlepas dari itu semua ana ingin bertanya pada anti mengenai hadits Rasulullah yang bersabda : ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung pada kemurkaan orang tua. Apakah benar hadits tersebut bersifat mutlak ukh?“

“Maksud antum?”

“Apakah benar ridho dan murka Allah selalu tergantung pada ridho dan murka orang tua?”

Tak ada jawaban dari Ira.

“Tidak selalu ukh. Tidak selalu Allah menggantungkan ridho dan murka-Nya kepada ridho dan murka orang tua. Sekarang ana bertanya pada ukhti, apakah Allah akan menurunkan ridho-Nya kepada sahabat Mush’ab bin Umair andaikan saja dia mengikuti kehendak ibundanya yakni Khunais binti Malik yang terkenal berkepribadian kuat dan pendiriannya tidak dapat ditawar dan diganggu gugat, untuk kembali pada kekafiran, sedangkan hal tersebut tentu saja akan mendatangkan ridho ibundanya. Apakah hal tersebut akan mendatangkan ridho Allah ukh? Tentu tidak ukh”

Keheningan masih menyelimuti diri Ira, dia diam dan menyimak.

“Bukankah Allah berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 8: dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebajikan kepada orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikutinya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan.”



“Bukankah dengan apa yang ana lakukan, ana telah melaksanakan perintah Allah dalam surat yang baru saja akhi baca, toh orang tua ana tidak menyuruh ana untuk mempersekutukan Allah, jadi dimana letak salahnya?”

“Masya Allah ukh, ana sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan orang tua anti menyuruh anti untuk mempersekutukan Allah, tidak sama sekali ukh, afwan jika perkataan ana kurang berkenan dihati anti, tapi inti dari ayat tersebut ialah saat kita mematuhi perintah orang tua kita, kita lihat terlebih dahulu konteksnya ukh, apakah perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah lainnya, baik yang terdapat pada Al-qur’an maupun sunah”

“Hmm.. jadi menurut akhi ana tidak mengindahkan perintah Allah lainnya? Atau bahkan ana melanggar perintah Allah lainnya? Bisa akhi tunjukan perintah Allah mana yang akhi maksud..”

“Bismillah.. Allah berfirman pada surat An-Nisa ayat 59: hai orang-orang yang beriman patuhilah Allah, Rasul, dan pemimpin diantara kalian. Abi ukhti merupakan pemimpin dalam keluarga ukhti dan wajib hukumnya bagi ukhti untuk mematuhi perintah beliau, tapi ukh, ketahuilah.. ulil amri menempati kedudukan ketiga dalam hirarki kepatuhan, setelah Allah dan Rasul-Nya. Konsekuensinya apa? Ukhti wajib mematuhi perintah ulil amri yakni abi ukhti, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sekarang ana bertanya apakah bersesuaian dengan perintah Allah dan Rasul-Nya apabila ada seorang ayah melarang putrinya untuk menikah dengan seorang lelaki, sementara musabab pelarangan tersebut diluar faktor agama? Bukankah masih pada ayat yang sama Allah berfirman: apabila kamu berselisih pendapat akan suatu hal, maka kembalikanlah hal tersebut pada Allah dan Rasul-Nya jika kamu betul-betul beriman pada Allah dan hari akhir. Maksudnya ayat tersebut apa ukh? Tak lain seolah-olah Allah ingin mengatakan: wahai orang-orang beriman jikalau kalian berselisih pendapat terhadap suatu hal, dimana hal tersebut kelak akan berimbas terhadap kepatuhan kalian pada para pemimpin kalian, maka kembalikanlah perselisihan tersebut pada Allah melalui kitab-Nya yakni Al-Quran dan Rasulullah melalui sunahnya. Jadikanlah Al-quran dan As-sunah sebagai acuan atau parameter bagi kalian untuk menentukan siapa yang lebih benar.”

“Tapi akh!?..”

“Afwan ukh, izinkan ana menyelesaikan pembicaraan ana terlebih dahulu... pasti anti ingin mempertanyakan kembali perintah Allah yang ana maksud. Sekarang ana tanya kepada ukhti, sudahkah ukhti dan keluarga memperlakukan ana dan si fulan secara adil? Sudahkah ukhti dan keluarga berlaku adil pada saat mempertimbangkan khitbah ana dan si fulan? Sudahkah itu ukh? Bukankah Allah memerintahkan kepada kita melalui firman-Nya pada Surat Al-Maidah ayat 8: berbuat adillah, itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah...”

Kebisuan tercipta sejenak..

“Ya ukhti, sesungguhnya didalam islam kita diajarkan untuk mengedepankan etika tabayyun (klarifikasi/ check and recheck). Pada saat ukhti dan keluarga menerima khitbah dari si fulan sudahkah ukhti melakukan tabayyun atas latar belakang dia dan keluarga?”

“Tentu saja sudah akh. Orang tua ana telah mengenal baik si fulan dan keluarganya, dia orang yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik, dan hal tersebut pulalah yang menjadi dasar pertimbangan ana dan keluarga menerima khitbahnya.”

“Justru disitu sangat terlihat jelas ukhti dan keluarga tidak berlaku adil terhadap ana dan si fulan.”

“Tidak adil gimana?!” Ira keheranan.

“Ukh.. Sesungguhnya ana heran... mengapa pada saat keluarga ukhti menolak ana, tanpa melakukan tabayyun secara menyeluruh, mereka menolak ana, tetapi pada saat keluarga ukhti menerima khitbah si fulan, mereka melakukan tabayyun terlebih dahulu. Tidak layakkah ukh ana mendapat perlakuan yang sama?! Ukh.. ana tidak akan mempertanyakan hal ini seandainya saja ana tidak mempunyai kapasitas yang sama dengan si fulan, bukankah ana dan si fulan merupakan dua lelaki yang pada kami ukhti memiliki kecendrungan. Seandainya saja ukhti tidak mencintai ana dan menerima khitbah ana secara pribadi.. takkan ana bertanya tentang keadilan.”

Ryan tak mendengar suara apapun dari ujung telpon sana, dia tidak tahu hal apa yang saat ini sedang berkecamuk di hati dan pikiran Ira.

“Sudahkah ukhti tanyakan kepada abi sebelum ukhti menerima khitbah si fulan: wahai ayahanda, sesungguhnya ayahanda telah menerima khitbah si fulan, tak lain karena ayahanda telah mengenal dan melakukan proses tabayyun atas diri fulan dan keluarga, sudahkah ayahanda melakukan hal yang sama terhadap Ryan? Jika belum hendaknya ayahanda lakukan juga proses tabayyun terhadap diri Ryan dan keluarga, hendaklah ayahanda menjadi pemimpin yang adil, karena duhai ayahanda, disebabkan rasa sayang yang teramat besar dari ananda untuk ayahanda, ketahuilah ayahanda bahwa setiap kita adalah pemimpin, dan akan dimintakan pertanggung jawabkan atas kepemimpinannya, untuk itu ayahanda... lakukanlah juga proses tabayyun terhadap diri Ryan dan keluarga, dan apabila setelah proses tersebut ayahanda tetap merasa bahwa Ryan tidak pantas untuk ananda, maka dengan kelapangan dada dan mengucapkan bismillah ananda mantap menerima khitbah si fulan.”

Hiks..Hiks.. Hanya suara tersebut yang terdengar dari Ira, Ryan menebak mungkin Ira sedang menangis.

“Wahai ukhti.. beranikah ukhti mengucapkan kepada ana ucapan berikut ini: Demi Allah akh, ana haqul yakin, seandainya saja keluarga ana melakukan tabayyun terhadap antum, maka hasilnya akan sama saja, mereka tetap akan menolak antum. Beranikah ukhti mengucapkan hal tersebut? Ukh.. ana yakin pada saat ukhti menerima ana.. tidaklah fisik ana yang menjadi faktor ketertarikan ukhti, karena ana tahu, bahwa banyak ikhwan-ikhwan lain yang ukhti tolak lamarannya jauh lebih baik fisiknya daripada ana, dan tidak pula ukhti tertarik pada kekayaan ana, karena berapa banyak ikhwan yang jauh lebih mapan dari ana, ukhti tolak pinangannya. Ana yakin ukhti menerima ana insya Allah karena agama ana, karena ana paham ukhti bukanlah wanita jahil yang menjadikan fisik dan kekayaan sebagai faktor utama. Pertanyaan ana selanjutnya, sudahkah abi ukhti memposisikan diri sebagai orang tua yang bijak, yang mau merangkul ana untuk diajak bicara dari hati ke hati, mengayomi ana dan memberikan nasehat kepada ana jika ada sikap ana yang tidak berkenan dihati beliau, mau mendengar penjelasan atau klarifikasi ana atas apa yang terjadi, memberi ana kesempatan untuk membela diri, jika itu hanya sebuah kesalah pahaman saja, tidak memvonis ana hanya dengan melihat sikap ana sekilas dan untuk selanjutnya berdasarkan prasangka belaka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dusta. Sudahkah hal tersebut dilakukan ukh?!” Uneg-uneg yang sedari dulu disimpan Ryan kini keluar, sedari dulu ingin disampaikannya.

“Ukhti, Allah memerintahkan kita untuk menjadi seorang muslim yang kaffah, tidak fair apabila kita mengikuti perintah Allah yang satu sementara perintah lainnya kita nafikan, ukhti telah mengikuti hadits Rasulullah mengenai ridho orang tua, tetapi sudahkah ukhti memperhatikan dalil lainnya? Hendaklah kita bertahkim pada hukum Allah baik yang mengenakan maupun tidak, baik yang menguntungkan kepentingan kita maupun tidak, jangan setengah-setengah ukh dalam bertahkim terhadap hukum Allah. Allah berfirman melalui Surat An-Nur ayat 48-51: Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung... Tentunya ukhti tak ingin bukan? Jika hanya menjadi seorang muslim tanpa harus mencapai derajat sebagai seorang mukmin. Bukankah Allah pernah mencela bani Israel melalui Surat Al-Baqarah ayat 85: Apakah kamu beriman pada sebagian kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat”

“Cukup akh.. cukup.. ana tidak kuat lagi mendengarnya” tangis yang tadi berusaha untuk dibendung Ira, meledak, membahana menerjang arung perasaannya. “Mengapa akh, mengapa baru sekarang antum katakan hal ini pada ana? Mengapa tidak dari dulu saja akh? Mengapa pada saat ana menawarkan kepada akhi untuk berpisah, mengapa akhi mengiyakan, kenapa akhi tidak berusaha tuk mencegahnya dan mengatakan tidak akh, mengapa?! Allahummaghfirlana, sakit sekali rasanya akh.”

“Ukh..” entah mengapa tiba-tiba sebutir air bening turun dari mata Ryan, Ryan menangis. Ryan menyeka air matanya. “Ukh.. pernahkah ukhti memberi ana kesempatan untuk mengatakannya? Adakah ukhti bertanya dan berdiskusi kepada ana sebelum ukhti menerima khitbah? Karena tahukah ukhti.. tanpa ukhti sadari jauh didalam lubuk hati ukhti, sebenarnya ukhti tahu bahwa ana tidak akan setuju, untuk itu ukhti selalu ingin menghindar untuk membahasnya dan mengambil keputusan sendiri. Ketahuilah bahwa hingga saat ini, hanya ada dua orang wanita yang sanggup memaksa ana meneteskan air mata untuk mereka, yang pertama umi dan kedua adalah ukhti, dan dari apa yang ana katakan itu, ana yakin ukhti pasti mengerti bagaimana istimewanya posisi ukhti dihati ana”

“Akhi..” Ira kembali menangis, “Allahummaghfirlana, allahummaghfirlana, ya Allah tunjukan kesalahan apa yang telah kami lakukan pada-Mu ya Robbana, hingga kami harus menanggung semua ini, Allahummaghfirlana.”

Dua anak manusia itu sama-sama menangis, setangguh apapun mereka, tampaknya saat ini Allah tengah mengibaskan sayap-Nya untuk menghembuskan angin kasih sayang, hingga tanpa terasa hal tersebut telah menyentuh sisi manusiawi Ryan dan Ira, mereka-pun menangis.

“Tahukah akhi.. pada saat ana menawarkan perpisahan bagi kita, sesungguhnya ana berharap akhi tidak mengiyakan tawaran tersebut. Ana seorang wanita akh, dan karena hal tersebut ana terlalu malu untuk mengatakan yang sejujurnya, bahwa ana... ah sudahlah akh. Lagipula ana telah melakukan sholat istikharah dan dari sholat tersebut hati ana cendrung untuk mengikuti keinginan keluarga.”

Benar juga jika ada yang mengatakan bahwa wanita itu tercipta dari Sembilan perasaan dan satu akal, sementara lelaki tercipta dari Sembilan akal dan satu perasaan. Berkata Ryan didalam hati.

“Ukhti.. ukhti.. fiqih mahzab mana yang mengatakan bahwa istikharah itu merupakan media ikhtiar? Bukan ukh, bukan.. sesungguhnya itu merupakan media tawakal, media yang digunakan jika kita telah berikhtiar semampunya. Sudahkah ukhti berikhtiar secara maksimal? Ukh.. dari dulu hingga saat ini ana tidak pernah meminta ukhti untuk memilih antara ana atau keluarga ukhti, tidak pernah ukh.. tidak pernah sama sekali terlintas dihati dan pikiran ana apalagi sampai mengatakannya.. yang ana inginkan ialah ukhti berada disamping ana, bersama-sama ana berjuang untuk meyakinkan keluarga ukhti, sudahkah ikhtiar tersebut dilakukan? Lalu tidaklah valid hasil dari istikharah ukhti jika sebelumnya ukhti telah memiliki kecendrungan terhadap salah satu pilihan, ukhti harus netral dan membiarkan Allah memberikan keputusannya dihati ukhti, ukhti wajib menyerahkan dan bertawakal kepada Allah atas pilihan tersebut, dengan begitu insya Allah hasil dari istikharah ukhti bisa shahih. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Tegasnya, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam kitab Al-Wafi Imam An-Nawawi, ya ukhti. Ana memahami ukhti seorang wanita, yang mungkin lebih mengedepankan perasaan, sehingga ukhti tidak bersikap netral, bukankah telah terdoktrin didalam diri ukhti bahwa kebahagiaan orang tua adalah segala-galanya, dan ridho Allah tergantung pada ridho orang tua, jika telah begitu, bagaimana mungkin ukhti bisa bersikap netral.”

Kebimbangan menerpa Ira, tanggapan yang harus diberikan.

“Afwan akh, waktu kita untuk bicara mungkin tinggal beberapa menit lagi, ana harus bersiap untuk berangkat mengajar. Atas apa yang telah akhi sampaikan, ana ucapkan terima kasih, namun mengingat keadaan saat ini, ana sebaiknya gimana?”

“Jika ukhti tetap mantap untuk menikah dengan si fulan, mulailah saat ini berusaha lebih keras lagi untuk belajar mencintai si fulan, karena jika tidak.. akan bertambah panjang daftar orang yang akan terdzalimi, yang pertama adalah ukhti karena mengorbankan perasaan dan membohongi diri sendiri, kedua ana, karena tidak diperlakukan secara adil dan ketiga mungkin si fulan, karena amat sangat dzalim jika ukhti mencintai dan menikahi lelaki yang berbeda, dan jika ukhti ragu, mintalah petunjuk Allah melalui istikharah, tapi ingat ukhti harus netral sebelumnya, serahkan semuanya kepada Allah, tinggalkanlah yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, ingat ukh.. keputusan ukhti akan berpengaruh tidak saja bagi urusan dunia ukhti tetapi juga akhirat ukhti, ukhti saat ini telah menjadi seorang mukallaf, apapun yang akan ukhti lakukan di dunia ini akan ukhti pertanggung jawabkan di akhirat kelak, pertanggung jawaban tersebut bukan kepada abi ukhti tetapi kepada Allah, harap diperhatikan tatkala Allah berfirman pada penutup Surat Al-Ankabut ayat 8: Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan, lalu ukh..” Sekilas Ryan menerawang ke relung masa silam, saat dia dan Ira dipertemukan untuk pertama kalinya, saat semerbak duniawi dan wangi ukhrawi menebar dan menuntun mereka untuk membangun sebuah taman.. yakni pernikahan, namun sayang.. kembang-kembang yang akan ditanami sudah terlanjur layu sebelum waktunya.

“Patut untuk diketahui bahwasanya dahulu ana mencintai dan ingin menikahi ukhti karena Allah, agama ukhti-lah yang menjadi kunci untuk membuka pintu hati ana yang selalu tertutup rapat, dan ana yakin ukhti pun demikian halnya, sehingga kita dulu pernah dipertemukan dan sepakat untuk bersatu dalam tali pernikahan karena Allah, untuk itu ana ingin kita-pun sepakat untuk berpisah karena Allah, inilah yang menjadi niat ana untuk bicara kepada ukhti pada kesempatan kali ini, ana ingin memastikan bahwa kita saling bertemu, mencintai dan berpisah karena Allah, sesungguhnya salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di hari kiamat kelak yang tiada nanungan selain naungan-Nya pada hari itu ialah orang-orang yang saling membenci dan mencintai karena Allah, kemudian sepakat bertemu dan berpisah karena Allah. Apabila perpisahan yang menjadi takdir-Nya, maka keridhoan hati untuk menerima hal tersebut tanda bahwa kita berpisah karena-Nya. Amin.. Allahumma amin. Satu hal lagi ukh yang ingin ana katakan, jika diberi kesempatan ana ingin mengisahkan cerita kita dan menjadikannya sebuah novel mungkin, kiranya nanti dapat dijadikan ibroh bagi mereka yang akan menikah, memilih jodoh, dan juga bagi orang tua yang ingin menikahkan putra-putrinya, dan kemaren ana sempat menuliskan sebuah syair untuk ukhti, telah ana kirim via email ukhti, mungkin syair tersebut merupakan kata-kata terakhir dari ana untuk ukhti sebelum menikah. Terakhir ana ingin meminta maaf kepada ukhti dan keluarga jika ada sikap dan perbuatan atau juga lisan ana yang tidak berkenaan dihati ukhti dan keluarga, akhirul qalam, subanakallahumma wa bihamdika asyhadualla ilaha illa anta, astghfiruka, astaghfiruka, astaghfiruka ya Allah wa ‘atubuilaik, Assalamu’alaikum.”
“Tits” bunyi telepon terputus.
»» Readmore

PART III (Sebuah Nasehat)

Malam harinya Ryan bertandang ke rumah Murrabinya yakni Ustadz Andi, untuk bersilahturahim sekaligus menumpahkan keluh kesahnya kepada ustadznya tersebut.
Sesampai disana Ryan menceritakan kepada Ustadz Andi mengenai pesan pendek yang diperolehnya dari Ira tadi Siang.
“Jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” Tanya Ustadz Andi
“Ana tidak tahu, mau tidak mau ana harus menerima ini, jika memang ini yang telah digariskan Allah”
“Ryan, coba kamu buka Surat Al-Baqarah ayat 216, disitu Allah berfirman bahwa mungkin saja engkau membenci sesuatu padahal sesuatu tersebut adalah baik untukmu, dan mungkin saja kau mencintai sesuatu padahal sesuatu itu tidak baik untukmu. Allah lebih mengetahui sedangkan kamu tidak”
Ryan mulai menangkap arah pembicaraan ustadznya.

“Ryan sekarang saya tanya sama kamu...kamu masih seorang muslimkan?”
Ryan hanya mengangguk.
“Kamu masih yakinkan bahwa Allah itu Tuhanmu?”
“Ya ustadz”
“Dan kamu ridhokan Allah sebagai tuhanmu?”
“Ya Insya Allah”
“Baiklah kalau begitu,jika kamu memang masih mengaku seorang muslim dan yakin serta ridho Allah sebagai tuhanmu, maka konsekuensinya kamu harus menerima dengan ikhlas bahwa didalam zat Allah terdapat sifat-sifat ketuhanan, yakni salah satunya ialah sifat maha mengetahui, dan bila Allah memang maha mengetahui, sebaiknya kita sebagai manusia jangan sok tahu dan tergesa-gesa memvonis bahwa Allah tidak adil dan salah dalam menetapkan takdirnya, karena sekali lagi yan, Allah lebih tahu atas segala sesuatu”

Ryan menyimak perkataan murrabinya dengan seksama, sambil akalnya berusaha tuk mencerna lebih dalam pandangan murrabinya.

“Yan, tahukah kamu kenapa saya mengatakan hal barusan? Karena saya melihat dari sikapmu, kamu belum bisa mengiklashkan kepergian Ira dan dari tatapan wajahmu seolah-olah kamu berkata bahwa Allah tidak adil. Istigfar yan.. Istigfar.. Ketahuilah bahwa Allah tidak mungkin mendzalimi hambanya meskipun sebesar dzarah dan Allah tergantung pada persangkaan hamba-Nya, Husnudzan-lah bahwa Allah betul-betul menyayangimu”

Astagfirullah.. Ryan membatin.


“Sekarang saya akan mengajukan sebuah pertanyaan penting kepada kamu. Analogikan saja saya yang sedang ada dihadapanmu ini adalah jibril yang diutus Allah untuk menyampaikan pesan dari Allah, dan pesan tersebut berupa pertanyaan dari Allah. Allah bertanya kepadamu, manakah yang akan engkau pilih wahai hamba-Ku, Ira atau Aku? Sesungguhnya Aku cemburu saat kau meletakkan zat selain Aku untuk bertahta disinggasana hatimu, dan karena Aku sangat menyayangimu, untuk itu Aku putuskan hal ini bagimu dan Ira, semata-mata agar engkau kembali ke jalan-Ku. Bukankah disetiap sholatmu kau selalu meminta kepada-Ku untuk ditunjukkan jalan yang lurus (ihdinasy syiraathalmustaqiim)?”

Serta merta Ryan meneteskan air mata, menumpahkan butir-butir penyesalan, hatinya yang semula tandus dihantam badai kegalauan sekejap telah berubah teduh menghijau, menumbuhkan kelopak-kelopak hikmah dan membanjiri relung hati dengan siraman keikhlasan. Dia sadar bahwa akal sehatnya telah tertutupi oleh awan kejahiliahan sebab terlalu cendrerung kepada Ira.

“Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskan hal ini lebih lanjut yan, karena saya yakin kamu pasti sudah paham maksud pembicaraan saya, sebab kamu adalah mutarabbi terbaikku, diantara semua mutarabbiku kamulah yang paling cerdas dan paling cepat mengerti, hanya saja saya menganggap kamu tadi sedang galau dan betul juga kata orang-orang bahwa apabila seseorang sedang jatuh cinta maka 83,13% kecerdasannya akan hilang, dan subhanallah ternyata hal tersebut dapat juga menimpa orang secerdas kamu he..” Ustadz Andi tersenyum memandang Ryan.

Ryan membalas senyuman tersebut, sambil menyeka air mata, dia menadahkan tangan ke langit, bermaksud untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Ustadz Andi tadi, dalam hati dia berkata,

"Ya Allah ya Robbana, jika memang ini yang kau putuskan dan terbaik bagi hamba dan Ira, maka dengan keridhoan hati hamba menerima ini semua. Jika Engkau meminta hamba untuk memilih, maka hamba akan memilih Engkau ya Robbi, karena hamba tahu bahwa hanya Engkaulah yang bersedia membalas cinta hamba lebih daripada rasa cinta yang dimiliki oleh mahluk-mahluk-Mu, oleh karena Engkau menyayangi hamba, hamba yakin kelak Engkau akan memberikan pengganti yang lebih baik daripada ini semua, dan hamba yakin bahwa angin yang Kau tiupkan akan senantiasa berhembus tuk membawakan mimpi-mimpi baru, menyejukkan jiwa dengan belaian kasih sayang-Mu dan menyinari mata hati yang tertutupi kabut nafsu, agar jelas dan terang tuk melihat bahwa tak ada yang sanggup menggantikan keindahan-Mu. Robbana aatina milladunka rahmah wa hayyi’ lana min amrina rosyadaa, Allahummagfirli.. Aahummagfirli.. Allahummagfirlana.. Amin Allahumma Amin.."

“Hey! Kamu jangan mencari-cari kesempatan dalam kesempitan mepet sini, mepet sana aha! Hey! Kamu ayo jagalah, jaga sikapmu jagalah jarakmu jagalah hatimu dimana saja haha!” terdengar nada Ring Back tone di ponsel milik Ryan. Sebuah lagu milik grup nasyid Justice Voice. Ring Back Tone tersebut milik Ira, berkali-kali berdering namun tak jua diangkat oleh pemiliknya. Ryan bingung mengapa Ira tak menjawab

Baiklah akan kucoba lagi, ini sudah yang ketiga kali.

Ryan tetap ber-husnudzan bahwa Ira tak mendengar panggilan tersebut, atau sedang sibuk sekali hingga panggilan tersebut belum sempat tuk diacuhkan.

Kuharap bukan karena dia enggan mengangkatnya.

Panggilan ketiga bernasib sama, gagal. Akhirnya Ryan menyerah, cukuplah sudah, baginya itu merupakan hak Ira untuk tidak atau mengangkat panggilannya, dia sadar kapasitasnya di hati Ira saat ini bukanlah sebagai Ryan 2 tahun yang lalu, Ryan sadar diri, namun selang 5 menit kemudian masuk sebuah pesan pendek ke ponsel Ryan, pesan tersebut tak lain dari Ira.

Assalamu’alaikum akh, afwan jiddan akh, ana g bs angkat panggiln antum, ana skr sdang di rumah, kluarga lg pd ngumpul mau mbahas mngenai acara walimahn ana. Ga mgkn bagi ana untuk bicara apalagi brtemu dg antum lagi, sbentar lagi ana akan menikah & antum tentu jg tahu gmn pandangn kluarga ana terhadap antum, syukron.
Ryan tersenyum membaca pesan tersebut,
Masya Allah, Ryan membathin.

Ryan coba menafsirkan pesan Ira. Ryan khawatir Ira salah menafsirkan panggilannya, padahal saat ini Ryan telah berhasil merebut kembali 83,13% kecerdasannya, kecerdasan yang sempat berhamburan terbawa terbang oleh badai yang bernama “cinta”. Jiwa dan akalnya sangat fit saat ini.

Wahai ukhti... tidaklah ana bermaksud untuk mengungkit masa lalu kita, karena tidak akan pernah cukup waktu ‘tuk berhenti membicarakannya, terlalu indah tuk dilupakan begitu saja dan tidak pula ana ingin mengganggu & menghalang-halangi niat anti untuk menyempurnakan separuh din, karena ana sepenuhnya sadar anti saat ini adalah calon istri saudara (ikhwan/ikhwah fillah) ana sedang khitbah telah anti & keluarga terima. Ryan berkata dalam hati.

Ukh ada hal yg ingin ana bicarakn, mgkn ini utk yg trakhir kaliny, ana janji. Ada yg ingin ana bahas dg anti, sesuatu yang kirany bisa memuaskn bathin ana, sesuatu yg mgkn krn ke-dhaif-an ana butuh pncerahan & koreksi dr anti. Bunyi pesan pendek Ryan.

Ira berpikir, apakah akan menjawab atau membiarkan saja pesan tersebut, sementara Ryan masih menunggu, apakah sebuah balasan atau keheningan yang akan diberikan Ira. 10 menit berlalu. Masuk sebuah pesan.

Apakah penting skli akh, ap tdk bs lewat sms aj.

Ryan menjawab, sblumny syukron ukhti telah merespon pesan ana, tapi afwan ukh, kayakny tidak bs lewat sms, lumayan panjang hal yg akan di bahas, lewat sms sepertiny gak cukup.

Lagi-lagi Ryan harus menunggu jawaban Ira. Selang setengah jam kembali sebuah pesan masuk ke ponsel Ryan.

Baiklah antum bisa menelpon ana besok, ba’da shubuh sebelum ana pergi berangkat mengajar, insya Allah ana punya kelapangan waktu, assalamu’alaikum.
Wa’alaikum salam, jazakillah khair.
»» Readmore

PART II (Batin Yang Sedang Galau)

Dua tahun pun berlalu….
“Ya Allah kuatkanlah hamba, tuk menerima takdir-Mu dengan segenap hati, dan tunjukkan selalu cahaya cinta-Mu sehingga hamba mampu tuk tetap berjalan meski terang itu telah lenyap saat Kau putuskan perpisahan bagi Kami berdua ....”

Ryan berusaha memperbanyak dzikir untuk mengingat Allah, istighfar menjadi andalannya. Itulah satu-satunya cara yang ia ketahui saat ini untuk membuat dirinya tetap tenang dan bertahan, saat sedang menikmati makan siang setelah melaksanakan sholat dzuhur, tanpa ia duga ternyata Allah telah memberikan keputusan yang sangat menentukan bagi dia dan Ira. Siang itu Ira mengirimkan pesan pendek melalui ponselnya kepada Ryan:

“Assalamu’alaikum... Akhi gimana kabarnya..” tulis Ira dalam pesan pendeknya.

“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik.. Ukhti gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah baik juga.. Akhi... ada yang mau ana ceritakan”

“Silahkan ya ukhti” jawab Ryan.

“Tapi ana mohon akhi jangan kaget dengan kabar ini, dan ana berharap akhi bisa menyikapi kabar ini dengan ikhlas karena yang selama ini ana kenal akhi adalah seorang yang arif dan bijak”

Langsung saja Ryan mengerutkan dahinya, darahnya berdesir dan jantungnya berdegub kencang seakan tak ingin ketinggalan tuk meramaikan situasi. Ryan bingung harus menjawab apa, walau dia mengerti apa maksud dari pesan pendek yang baru saja dikirimkan Ira, berusaha untuk tetap tenang Ryan menjawab,

“Insya Allah ana tidak apa-apa ukh.. Ceritakan saja ada apa.. Kenapa? Ukhti mau nikah ya?”

“Bismillah.. Insya Allah awal tahun depan ana mau nikah, calonnya dipilihkan orang tua, seminggu yang lalu ana udah dikhitbah.. Hingga saat ini ana masih terus istikhoroh, mohon doanya ya akh.. Semoga Allah senantiasa menjaga ana dan ditunjukan jalan yang terbaik.. Ana minta maaf ya akh kalo selama ini banyak salah & khilaf.”


Coba untuk kuatkan hati, pesan pendek tersebut dijawab oleh Ryan,

“Alhamdulillah kalo gitu ukh.. Insya Allah ana akan selalu doakan ukhti, dan Insya Allah, Allah akan selalu memperlakukan kita secara makruf.. amin”

“Besar harapan ana semoga ukhuwah ini tidak akan pernah terputus dan semoga Allah menjaga & menggolongkan kita menjadi orang-orang yang beruntung dunia&akhirat, amin. Sampaikan salam ana untuk keluarga akhi, jazakaullah khairan ...”

Ryan menyandarkan badannya di kursi, santapan makan siang tak urung dihabiskannya, nafsu makannya sudah hilang. Melihat jam telah menunjukan pukul 12.50, itu artinya jam istirahat siang sudah hampir habis dan ia harus bergegas menuju kantornya untuk kembali bekerja.

Setiba di meja kerjanya, Ryan langsung duduk di kursi, tak kuasa rasanya untuk tetap berdiri, tumpukan pekerjaan dan ketikan yang harus diselesaikan tak terlalu digubrisnya. Ryan termenung, galau untuk menentukan sikap, sekuat apapun iman yang ia miliki dan ilmu yang ia ketahui rasanya untuk sementara ini tak mampu untuk meredam gundah hatinya, bibirnya hanya berusaha untuk tetap berzikir. Tepat pukul 15.00 Ryan minta izin pulang kerja lebih awal, dia beralasan kalau kondisi fisiknya kurang sehat.

Akhirnya inilah yang telah diputuskan Allah bagi Ryan dan Ira, setelah dua tahun diperjuangkan, namun inilah yang dikehendaki Allah. Ryan sadar dia telah ikhtiar semampunya, akan tetapi untuk hasil akhir biarlah hal tersebut menjadi urusan Allah, dia bertawakal, menyerahkan semuanya kepada Allah.

Dua tahun lalu gerbang hati yang selama ini ditutup rapat olehnya telah dia buka untuk seorang akhwat bernama Ira, gayung bersambut, ternyata Ira menerima cintanya dan mereka sepakat untuk menikah, namun Allah maha kuasa untuk menentukan segalanya, orang tua Ira sangat tidak setuju dengan pilihan Ira dan meninginkan Ira menikah dengan calon yang dipilih oleh orang tuanya, karena menurut orang tua Ira, merekalah yang paling tahu dan mengerti bagaimana cara untuk membahagiakan putrinya, Ryan keberatan menerima keadaan itu dan telah berkali-kali mencoba untuk meyakinkan Ira agar bersama-sama dengan Ryan meyakinkan orang tuanya, namun gagal.

Sebulan yang lalu Ryan dan Ira sepakat untuk menyudahi perjuangan mereka dalam meyakinkan orang tua Ira dan menghentikan serta membuang jauh-jauh mimpi mereka tuk menikah, namun saat itu Ryan sempat mengatakan pada Ira :

“Sungguh ukh, sejujurnya hingga saat ini perasaan ana terhadap ukhti masih seperti dulu, dan wallahu’alam entah sampai kapan perasaan tersebut akan tetap bertahan. Jauh dari lubuk hati ana, ana tetap berharap agar bisa menikah dengan ukhti, dan berharap semoga saja Allah menurunkan keajaiban dan memperkenankan kita tuk menikah. Ana bertekad akan menunggu ukhti dan tidak ingin membuka hati ana untuk wanita lain, namun penantian tersebut akan berakhir manakala ukhti telah menikah dengan lelaki lain.”

Sambil meneteskan air mata, Ira coba untuk mencurahkan perasaan hatinya,
“Sungguh akh, ana juga masih memiliki perasaan yang demikian terhadap akhi, namun apa yang sanggup ana perbuat.. Sebaiknya akhi tidak perlu menunggu ana lagi, kasian akh dengan akhwat-akhwat lainnya yang mungkin lebih siap dan lebih baik dari ana untuk menikah dengan akhi, jangan akh, akhi tidak perlu berharap lagi, karena ana sendiri tidak berani mengharapkannya lagi, semakin ana berharap semakin perasaan ini sakit akh”

“Entahlah, ana tidak bisa menjawabnya sekarang, tapi biarlah semua berjalan apa adanya. Ya ukhti bolehkan ana ajukan satu permintaan kepada ukhti?”

“Apa itu akh?”

“Sudikah ukhti jika kelak kita memang tidak berjodoh, dan ukhti menikah dengan lelaki lain, lelaki tersebut adalah lelaki yang betul-betul kepadanya ukhti memiliki ketertarikan, bukan karena paksaan dan juga korban perasaan, dan Insya Allah ana bisa mengiklashkan ukhti untuk menikah dengan lelaki lain”

Ira terdiam seribu bahasa, permintaan yang mustahil menurutnya, toh selama ini dia memilih untuk mengakhiri hubungan dengan Ryan karena dia telah memilih untuk mengikuti kemauan orang tuanya.

“Afwan akh, ana tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut, huff..” Ira menghela nafas sejenak, kemudian dia melanjutkan,

“Baiklah akh, sekarang ana akan berterus terang kepada akhi. Ada satu hal yang selama ini belum ana ceritakan ke akhi, ana menunggu saat yang tepat untuk menceritakannya dan ana rasa inilah saat yang tepat. Akh.. mungkin akhi tahu bahwa sekitar 2,5 tahun yang lalu, kakak ana yakni mas Rudi telah melaksanakan sunah Rasulullah tuk menikah, tahukah akhi bahwa abi dan umi hingga saat ini sama sekali gak pernah ridho atas pernikahan tersebut, bahkan ana melihat sendiri bagaimana ekspresi wajah abi dan umi yang seharusnya bahagia seperti orang tua lainnya saat menikahkan anaknya, namun tidak sama sekali akh. Mereka sama sekali tidak bahagia, bahkan abi sempat sakit-sakitan karena hal tersebut, walaupun afwan ana tidak bisa memberitahukan kepada akhi mengapa abi dan umi tidak ridho atas pernikahan tersebut. Sejak saat itu ana berazzam untuk tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh kakak kepada abi dan umi. Ana bertekad saat pernikahan ana nanti, abi dan umi harus bahagia, untuk itu ana berusaha untuk iklash menikah dengan calon suami yang diridhoi oleh abi dan umi, yang terpenting bagi ana, abi dan umi bahagia. Meski ana harus mengorbankan perasaan dan kebahagiaan ana. Semoga akhi bisa mengerti.”

Ryan tak memberikan respon apapun, dia tidak mampu berkata-kata lagi. Batinnya galau dan nelangsa menyaksikan kekasih hatinya harus berkorban dengan cara yang demikian.
»» Readmore

Diantara Cinta, Agama dan Orang tua

PART I (Suratku Buatmu)

Assalamu’alaikum wahai engkau yang melumpuhkan hatiku,
Tak terasa dua tahun aku memendam rasa itu, rasa yang ingin segera kuselesaikan tanpa harus mengorbankan perasaan aku atau dirimu. Seperti yang engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.
Tahukah engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa lisan ini seolah terkunci untuk mengungkapakan perasaan ini. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu, walau aku teramat sakit saat mengetahui bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai walaupun itu hanya sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan lonjakan yang membuatku semakin tidak mengerti.
Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit terasa dan begitu amat perih. Namun 1000 kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti bagiku. Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan aku mengerti bahwa aku harus mengalah.
Wahai engkau yang melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati ini terus mengingatmu. Jarang aku memandang seorang Ahwat, namun satu pandangan saja mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini. Andai aku buta, tentu itu lebih baik daripada harus kembali lumpuh seperti ini.
Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah kumintai pendapat. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangku tentangmu tentang dia karena sebahagian prasangka adalah suatu kesalahan,mereka memintaku untuk membuka tabir lisan ini juga untuk menutup semua rasa prasanmu terhadapku. Namun di titik yang lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal yang telah tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin aku bukanlah Ihwan yang siap untuk segera menikah denganmu. Masih banyak sisi lain hidup ini yang harus ku kelola dan kutata kembali. Juga kamu wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kamu yang dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum saatnya memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung ke sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin berpacaran denganmu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu, namun tak akan kuberikan setitik pun saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam diriku bahwa saat-saat indahku hanya akan kuberikan kepada suamiku nanti. Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tolong bantu aku untuk meraih jodoh-ku bila dia bukanlah dirimu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu, tentu aku ungkapkan perasaanku . Andai rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu. Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan maluku hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.
Aku yang tidak mengerti diriku…
Ingin ku meminta kepadamu, sudikah engkau menungguku?! Namun wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku melupakanmu… aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin nanti saat dimana mungkin kau telah menimang cucu-mu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling tersenyum bersama mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebahagian dari iman, kita akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita berbuka setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu ini pada tempatnya.
Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA.
Wassalam
“Selembar surat ini tetap aku simpan untuk mengingatkan akhi akan sucinya perasaan akhi untuk ku” dalam hati ira bekata.. sambil melepitkan surat itu, “Akhi ryan adalah Ustad favorit aku, aku harus berkata apa dengannya sedangkan ini adalah hari keputusan untuk menjawab semua itu….”
Matahari menunjukkan pukul 15.30 WIB, lantunan suara adzan Ashar terdengar di telinga ira, “Waktu Ashar telah masuk aku harus bergegas shalat Ashar, karena nanti aku akan bertemu dengan ryan” Hati Ira Sumringah...
Tut..tut..tut sms dari ryan berbunyi…
“Assalamu’alaikum ukhti maaf dengan segala ketidak sopanan akhi mengirimkan sms ini, akhi hanya ingin menegaskan jadi atau tidaknya kita berjumpa. Wassalamu’alaikum”
Pertemuan pun tiba, keduanya ini saling menundukan kepala seakan dan saling terdiam.. hanya sepatah dua patah kata terlontar dari ryan “Bissmillah” dengan serta merta melepaskan napasnya perlahan..
“Assalamu’alaikum... ukhti gimana kabarnya..” dengan senyum ira pun menjawab
“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik.. Akhi gimana kabarnya?” “Alhamdulillah baik juga.. ukhti... bagaimana dengan surat ana? Maaf ana lancang mengirimkan surat kepada ukhti” hati ryan berdentum keras seakan ingin pecah. Dalam hati ryan hanya berzikir agar syaiton tidak masuk kedalam hatinya.
“Akhi maaf sebelumnya jika ini adalah jalan Allah untuk mempertemukan kita, alangkah baiknya jika akhi mengenal lebih dalam lagi ukhti, karena nanti baik buruknya bukan ukhti yang menilai tetapi akhi” “ukhti bukanlah seorang muslimah yang baik bagi akhi” tetapi memang ini jalan yang terbaik buat kita alangkah baiknya Ta’aruf dahulu hingga akhi siap dan ukhti pun siap sampai saatnya nanti”..
»» Readmore

24 July 2010

Thanks For Being There

The world is moving faster now;
We're on a changing course.
But you have helped me deal with life;
You've been a stable force.

When I have had to follow;
New directions, you were there.
When the world was hard on me;
You always seemed to care.

When nothing held together;
Made the slightest bit of sense.

You have always helped restore;
My inner confidence.

Everyone needs someone;
Who's reliable and true.

Through the moments I've endured;
I'm grateful there was you.
»» Readmore

22 July 2010

Hakiki

Pernah…

Tanya menyeruak
dari dalam hati…

Memberontak,
tidak menyisakan apapun selain diri…

Dia keluar, lega,
seolah lepas dari penjaranya…

Berbalik, dan
memandangku, yang terpaku…

Tiba-tiba dia
bertanya kepadaku, siapa kamu?

Tergagap… kujawab, sebagaimana ibuku memanggilku…

Dia tertawa, aku terus
terpana…

Dia berkata, nama
tidak memberimu makna…

Nama hanyalah
do’a, tulus dari hati orangtua…

Nama hanyalah
panggilan, dari sesama manusia…

Dia bukanlah
dirimu…

Cuma buah pikiran
manusia, sepertiku…

Dia kembali
bertanya kepadaku, siapa kamu?

Hening… aku tak
mampu berkata…

Dan dia kembali
tertawa, membuatku merasa dungu…

Hakekat? Bukankah
itu yang kalian cari?

Mencari alasan
untuk keberadaan, dari yang kalian sebut Tuhan…

Karena Dia kah
kalian ada?

Dia, yang Maha
Kuasa… Sang pencipta… alam seisinya…

Lalu untuk apa
dia menciptakanmu, wahai manusia yang hina?

Untuk beribadah
kepada-Nya?

Karena kitab
sucimu, agamamu, memberitahumu begitu?

Jangan anggap Dia
memerlukanmu, kalian tidak seberguna itu…

Sekali lagi aku
bertanya, siapa kamu?

Diam… aku
kembali membisu…

Dan dia kembali
berbicara, sendiri…

Hakekat kalian,
manusia, bukan di sini, di bumi ini…

Arti dari dirimu,
bukan berwujud materi…

Kau bukan lembaran
kain, yang melekat di kulitmu ini…

Kau bukan isi
dompetmu, yang kau cari setengah mati…

Kau bukan apa
yang kau kendarai…

Kau bukan rumah
yang kau diami….

Kau juga bukan
milik mereka yang kau kasihi…

Kau hanya benda
milik-Nya…

Energi yang
diciptakan-Nya, untuk mengubah dunia…

Bukankah karena
itu kau diciptakan? Untuk diserahi dunia?

Dan dia kembali
menatapku…

Mencengkeram erat
kerah leherku…

Dan sekali lagi
bertanya, siapa kamu?

Aku terdiam,
namun kali ini karena paham…..

”Aku…”

Nafas pengetahuan
mengisi rongga yang selama ini kosong dalam kepalaku…

”Aku adalah
perubahan.”
»» Readmore

16 July 2010

Lebih Memilih Persahabatan Dari Cinta . . .?

nulis lagi,.hujan2 dingin nga ada yg di bikin,.cuman di temani si putih dan segelas minuman kaleng,.
friendship,.yups,.untuk sementar ini lebih memilih teman dari pada mencari orang lebih tepat seorang wanita yang bisa berbagi kebahagian dan susah bersama..:D
pernah merasa iri?lebih tepatnya pengen..saat melihat pasangan di jalan atw di tempat2 keramain bergandengan tangan..hahahahay..

tapi persahabatan itu juga sebuah bentuk cinta, hanya saja dilengkapi oleh pengertian. Friendship is love, with understanding.semua tentu pernah dengar bahwa cinta itu buta.oleh karenanya, cinta bisa menghilangkan objektivitas, menggiring kita untuk berlaku tidak adil, termasuk kepada diri sendiri.masa iyah.?menurut sy si iya,.terlalu memaksakan kehendak..-.-
persahabatan juga mirip-mirip sebenarnya.seorang sahabat sejati, akan membela kita, apapun ceritanya. tetapi bukan karena persahabatan itu buta seperti cinta.dia hanya memilih menutup mata. artinya menurut saya, pilihan sikap itu dibuat dengan kesadaran..


kemudian, cinta hampir selalu dicampuri oleh rasa ingin memiliki, bahkan menguasai. padahal, sebuah hubungan yang sehat, apapun bentuk dan tingkat kedalamannya, seperti sudah sering digambarkan orang, adalah ibarat menggenggam pasir.jika pasir itu digenggam dengan tangan terbuka, held losely, setiap butirannya akan bertahan di telapak tangan.begitu kita menggenggamnya kuat-kuat, justru karena tak ingin kehilangan sebutir pun, don’t wanna miss a thing gitu dan, butir demi butir akan “melarikan diri” dari sela jemarimu. Sementara butiran yang terjebak tak bisa meloloskan diri, mulai menebar perih di telapak tanganmu, dan pada akhirnya, tak ada pilihan lain kecuali melepasnya juga.

nah, persahabatan, tidak seperti cinta, adalah holding losely itu, genggaman yang memberi ruang. tetapi kalau ada yang mengganggu, kita tetap mau maju membela.

terakhir, banyak persahabatan berakhir menjadi cinta.ini dalam konteks lain yah,jangan di salah artikan.:D.sementara tak pernah terdengar, cinta yang berakhir menjadi persahabatan.persahabatan yang sungguh-sungguh, tentunya, bukan basa-basi biar jangan terlihat terlalu terluka dalam konferensi pers di depan wartawan infotainment.nyiahahahahaha

jika demikian, sepertinya tak ada harapan untuk mengangung-agungkan cinta? tidak juga. mengapa tidak menjadikan orang yang kau cintai sebagai sahabat terbaikmu yang kau sayangi dengan pengertian dan pemahaman, yang kau memilih menutup mata, menerima kekurangannya, bukan buta untuk terus memujanya tanpa pernah mau tahu siapa sebenarnya dia, yang kau genggam tangannya dengan genggaman ringan, buah dari kepercayaan dan keinginan untuk memberinya ruang menghirup bahagia, bukannya membuatnya jadi binatang piaraan yang disayang-sayang dalam kandang mewah bertabur kembang 7 rupa, yang sebenarnya hanya membuatnya merasa terkekang, siang malam, pagi dan petang.

jadi untuk sementara ini hafing fun dengan keadaan dulu,berteman berteman berteman..
suka suka suka saya..:D

hari gini jomlo.?nah loh so what.?
»» Readmore

15 March 2010

Berbagi Semangat

Sobat, semalam dikarenakan saya tidak bisa tidur, saya menyempatkan menonton televisi dan disana ada film bagus tentang kebangkrutan sebuah perusahaan dan ternyata pemimpin perusahaan itu yang “merampok” aset perusahaan itu hingga karyawannya mengalami kesulitan karena mereka telah menanamkan semua uang pada perusahaan itu.

Dalam masa-masa kesulitan itu, sebagian karyawan termasuk karyawan “ekselon” yang juga mengalami kesulitan mencari cara untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sebagian dari mereka menjadi “perampok” dan ada yang usaha “judi” dirumahnya untuk mempertahankan hidupnya. Sekali lagi situasi sulit yang terjadi dalam kantor itu.

Situasi yang tidak menentu karena adanya kesulitan keuangan dimana keluarga tidak mampu menghidupi keberadaan anggota keluarganya. Yah ini hanyalah film dan berahir dengan kegembiraan karena berkat seorang bekas anggota itu berhasil mengembalikan uang dari pemilik perusahaan yang merampok uangnya dengan dimasukkan pada dana pensiun karyawan perusahaan itu dan semua bersuka cita karena memperoleh kembali uang mereka setelah perampokan oleh pemimpin perusahaan ini.

Tapi bagaimana jika hal itu sungguh terjadi dalam kehidupan ini ?

Beberapa hari yang lalu, saya juga dihadapkan oleh keadaan yang cukup tidak mengenakkan menghadapi “prahara” keluarga. Sebuah keluarga pedagang bubur yang biasa mangkal di depan rumah kami, ternyata pedagang ini mengalami kecelakaan dan harus masuk rumah sakit serta motor mereka “hancur” sedangkan motor itu masih motor kreditan.

Berdagang adalah tulang punggung kehidupan kelaurga itu disamping suami pedagang itu yang kerja serabutan ikut orang dan motor itu adalah salah satu kekayaan yang diandalkan kerena rumah mereka jauh dan motor itu pula yang harus dipakai untuk antar jemput sekolah anaknya serta jika tidak ada motor maka biaya transportasi kedua anak keluarga itu mencapai Rp25.000,- karena dari rumah pedagang itu tidak ada angkot. Keadaan sungguh tidak membahagiakan dan dunia serasa kiamat bagi pedagang bubur itu. Ini adalah kenyataan hidup.

Dalam serba ketidakberdayaan itu, motor kreditan sudah ditarik oleh pihak yang memberikan kredit dan semua menjadi gelap serta hanya ada satu andalan hidup yaitu dari suami pedagang itu yang hanya bekerja serabutan ikut orang dengan motor butut yang dimilikinya.

Namun semangat ada dalam keluarga itu. Pedagang bubur itu tidak lagi jualan bubur dan tugas antar jemput anaknya diserahkan penuh kepada bapak anak itu dan dilakukan sebelum dan setelah bekerja. Jadi kedua anak yang satu SMK dan yang satunya SD selalu berangkat bersama bapaknya dan pulang menunggu bapaknya pulang kerja. Berangkatnya sih tidak masalah karena bisa diatur jamnya tapi pulangnya yang menjadi masalah karena bapak anak ini pulangnya tidak selalu pada jam yang sama tergantung permintaan pekerjaan dari orang yang membutuhkan tenaganya. Bapak itu bisa pulang jam 5 sore, bisa jam 6 sore dan bisa jam 11 malam. Pernah karena ada lembur anak itu harus menunggu sampai jam 1 malam dan kedua anak itu duduk di depan rumah kami sambil tidur-tiduran.

Keadaan itu terus berlangsung hingga saat ini dan tadi malam ada kejadian yang membuat saya sedih yaitu kedua anak itu sudah kelehatan jenuh dan capek karena jam 10 malam bapaknya belum pulang, setiap menepon bapaknya, bapaknya marah-marah karena motornya rusak. Eh, jam 11an bapaknya datang dengan “menuntun” motor karena motornya tidak bisa menyala. Bapak anak itu langsung bilang, “Jangan telp terus, bapak juga capek bukan kamu saja yang capek.” Anaknya bilang, “besok ulangan dan saya tidak mau masuk sekolah karena capek.” Bapaknya bilang, “ya sabar, bapak kan gak sengaja bikin motor rusak.”



Saya tidak tahu mereka ngomong apa lagi karena kedua anak itu langsung jalan meninggalkan rumah kami dan motor bapak itu dititipkan di rumah kami. Bapak itu sebenarnya ingin meminjam motor pada saya tetapi sayang karena motor yang biasa saya pakai adalah motor yang sudah saya kembalikan beberapa waktu lalu dan saya tidak memiliki motor lagi. Saya menanyakan apakah ada uang untuk pulang. Syukurlah bapak itu bilang masih ada dan cukup untuk naik ojek.

Pagi harinya kedua anak itu ternyata masuk sekolah dengan naik ojek dan bapaknya datang agak siangan dengan naik ojek pula. Kedua anak itu telah memiliki semangat lagi untuk menjalani hidup dan perjalanan sekolahnya, serta mampu mengatasi rasa malas dan capek setelah semalam kesal karena lama menunggu bapaknya yang tak kunjung datang dan datang pun dengan motor yang rusak sehingga tidak bisa cepat pulang sedangkan mereka perlu belajar untuk ulangan.

Orang kecil sering dibuat kecil oleh keadaan dan hidup ini. Tapi jika semangat itu ada maka keadaan tidak bisa “mengkebiri” atau “mengecilkan” mereka dan mereka bisa tetap mengatasi masalah ‘pengecilan’ dalam hidupnya. Hal ini karena adanya semangat untuk terus dan terus maju melawan keadaan yang memperkecil kehidupan mereka.

Jika semangat itu ada dalam diri, maka tentulah akan ada jalan keluar dan hidup akan keluar sebagai pribadi yang kuat walaupun diperkecil dan dipersempit ruang gerak oleh kehidupan ini. Berani mendobrak rasa malas, rasa capek, rasa putus asa dan rasa rendah diri adalah pintu untuk menemukan semangat baru mencapai apa yang ada di depan kehidupan.

Belajar dari keadaan menjadikan orang menemukan semangat pula. Dari kehidupan kita belajar dan dari kehidupan pula kita diberi pelajaran. Tak ada yang mustahil bagi mereka yang memiliki semangat karena semangat adalah pintu gerbang keajaiban.

Semoga kebaikan selalu ada dalam hidup kita dan kita tumbuh sebagai orang yang bersemangat dalam keadaan apa pun termasuk keadaan yang serba sulit sekalipun. Semua pasti bisa diatasi apalagi kita memiliki Allah yang selalu memperhatikan hidup kita.

Jika kita memiliki impian dan kita berusaha mewujudkannya maka Allah dan seluruh alam akan bahu-membahu membantu kita.

Salam dalam cinta membangun dunia baru dengan semangat baru agar semua menjadi lebih baik. Jangan biarkan rasa malas, rasa capek, rasa putus asa dan rasa rendah diri memasuki hidup kita karena sekali mereka masuk maka kita akan diikatnya dan kita sulit keluar darinya. Teruslah bersemangat dan terus menemukan semangat baru dari kehidupan ini.

»» Readmore